Slideshow

Sabtu, 22 Oktober 2011

Sejarah Munculnya Hadist

Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah,[1]sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW yang beredar pada masa Nabi Muhammad hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah al Qur’an. Dan isinya pun menjadi hujah (sumber otoritas) keagamaan.

Apabila ditelusuri sejarahnya, ternyata di samping adanya kesepakatan umat Islam untuk menerima Hadits sebagai dasar tasyri’, terdapat pula pandangan problematik tentang hadits. Bahkan, ada sejumlah kecil yang menolak Hadits sebagai dasar syari’at Islam yang kedua setelah al Qur’an.

Pandangan-pandangan ini ada yang datang dari lingkungan intern umat Islam, dan ada juga yang datang dari lingkungan ekstern umat Islam yang kadang-kadang juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.

Sebagaimana diketahui, pada abad II Hijriah, muncul faham yang menyimpang dari garis khiththah yang telah dilalui oleh sahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujah dalam menetapkan hukum bila tidak dibantu oleh al Qur’an, dan ada pula yang tidak menerima hadits ahad. Selain itu, juga terdapat perbedaan faham dalam hal keadilan sahabat, perbedaan dalam hal penulisan hadits, serta keberadaan pemalsuan hadits secara massif.

Sekilas Tentang Sejarah Hadits

Pada awalnya, kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita dan berita-berita secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah hadits mengalami pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara eksklusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.

Hal demikian dibenarkan oleh Mustafa A’zami yang menceritakan bahwa pada masa-masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat. Pada waktu itu. Kata hadits yang awalnya bersifat umum, semakin lama semakin eksklusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada Nabi.

Dari keterangan tersebut kiranya dapat dipahami bahwa tradisi “tutur”  dan “tinular” mengenai perilaku Nabi sudah hidup pada masa-masa awal Islam. Begitu juga tradisi “periwayatan”, dalam bentuknya yang sederhana dan mungkin tak pernah dimaksudkan untuk meriwayatkan, sudah dimulai sejak masa awal, sehingga ketika generasi selanjutnya melakukan kodifikasi terhadap hadits dapat dilacak apakah benar berasal dari Nabi atau tidak.

Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi pernah menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, suatu saat Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan al Qur’an yang pada saat itu masih turun (proses pewahyuan belum final), namun pada saat yang lain, justru Nabi memerintahkan agar hadits itu ditulis.

Dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah.

Menurut perspektif hukum, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).[5]
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat, meskipun juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
  1. Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam, 
  2. Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn “ash yang dinamainya al shadiqah. 
  3. Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas, berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Dengan demikian, mungkin istilah yang lebih tepat, Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar Ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.

Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.

Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[8]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standard yang ketat.

Seperti disebutkan di muka bahwa “periwayatan” sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam, namun baru pada pertengahan abad ke-3 H / 9 M, hadits mempunyai “bentuk”  yang tertentu. Hampir semua isinya secara mendetail telah terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.

Untuk mencapai “bentuk” ini para ahli telah mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah. Para ahli, atau yang biasa disebut sebagai muhadditsun, telah melakukan perjalanan menjelajah ke seluruh penjuru dunia Islam pada waktu itu. Mereka  pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari satu orang ke orang lainnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-3 H / permulaan 10 M beberapa koleksi hadits telah dihasilkan, bahkan enam diantaranya mulai saat itu sudah dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal dengan "enam yang asli".

Adapun yang paling terdepan dari keenam kitab hadits itu adalah Shahih Bukhari yang kemudian dinyatakan oleh kaum muslimin hanya berada di bawah al Qur’an dalam otoritasnya, Shahih Muslim menempati urutan selanjutnya, dan kemudian disusul berturut-turut oleh karya-karya Abu Daud, al Tirmidzi, al Nasa’i dan Ibn Majah.

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa rentang waktu antara masa hidup Nabi dengan kodifikasi hadits begitu jauhnya, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para orientalis untuk menyerang Islam, melalui salah satu sumber hukumnya, yaitu hadits. Mereka menganggap bahwa sunnah adalah tradisi yang diciptakan oleh para sahabat, sebagai hasil interpretasi terhadap ajaran Nabi.

Seorang orientalis bernama Ignas Goldziher sangat meragukan materi hadits yang sedemikian banyak dapat disaring dan kemudian diperoleh suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai "asli" berasal dari Nabi atau generasi sahabat yang awal. Ia berpendapat, seharusnya hadits dianggap sebagai catatan pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi muslim yang awal dari pada sebagai catatan tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat Beliau.

Lain lagi dengan Margoliouth yang menganggap bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits. Sunnah yang dipraktekkan kaum muslim awal sama sekali bukan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al Qur’an.

Dalam karyanya The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Joseph Schacht mengatakan bahwa "tradisi yang hidup" (living tradition) telah ada mendahului "tradisi Nabi". Schacht berargumen bahwa ketika hadits pertama kali beredar pada sekitar abad kedua hijriyah, ia tidak dirujukkan kepada Nabi, melainkan kepada tabi’in, kemudian sahabat dan setelah beberapa waktu akhirnya hadits disandarkan kepada Nabi.

Mereka juga menemukan kitab al Muwatha’, kitab tertua sesudah al Qur’an yang dapat ditemukan,  mempunyai sanad yang kurang tertib. Dan sistem isnad itu tertib setelah memasuki generasi al Bukhari, yang jangka waktunya dari Imam Malik (penyusun al Muwatha’) cukup jauh (Imam Malik: 93-179 H; al Bukhari: 194-296 H). Di sini para orientalis mengungkapkan bahwa isnad  yang awalnya tidak ada itu kemudian ada tetapi tidak tertib, dan akhirnya menjadi sangat rapi. Dengan demikian mereka berkesimpulan bahwa ahli hadits generasi al Bukhari, dengan kelihaiannya, telah merekayasa isnad. Hadits yang tadinya tidak jelas siapa pembawanya, disulap sedemikian rupa sehingga menjadi shahih sanad-nya.

Beberapa pendapat kaum orientalis tersebut, jelas sangat memancing kontroversi dan tidak dapat diterima oleh umat Islam. Namun begitu, kita tidak boleh hanya mempertahankan diri hanya dengan mengedepankan emosi belaka, tetapi harus meng-counter-nya dengan dalil-dalil yang ilmiah. So, buat sobat-sobat yang mempunyai pandangan yang ilmiah untuk meng-counter silakan tulis komentar atau ulasan….wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons