Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).
Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
- Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
- Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang dinamainya al Shadiqah.
- Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah, dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.
Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
- “Sama’ min lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu.
- “al Qira’ah ‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
- “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
- “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
- “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
- “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
- “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kiotab atau tulisan supaya diriwayatkan.
- “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.”
Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.
Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.