Slideshow

Sabtu, 22 Oktober 2011

Sistem Periwayatan Hadits

Dalam sistem periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai pertama dan paling kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan Nabi SAW. Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara literatur hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu apakah proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk menjamin tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi SAW? Pertanyaan ini membawa kita pada banyak subtopik. Kapankah hadits pertama ditulis? Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis? Apakah penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na) dan bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal untuk melestarikan sunnah?

Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).

Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat.

Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
  1. Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam, 
  2. Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang dinamainya al Shadiqah. 
  3. Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Mungkin lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.

Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.

Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah, dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.

Ketika isnad dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits, secara tidak langsung, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa pentingnya sistem periwayatan hadits,[6] walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Namun begitu, sistem periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan.

Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
  1.  “Sama’ min lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu. 
  2. “al Qira’ah ‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
  3. “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
  4. “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
  5. “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
  6. “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
  7. “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kiotab atau tulisan supaya diriwayatkan. 
  8. “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi,  keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.”

Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.

Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa, namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya hadits Nabi:

Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil ma’na, dan hal demikian memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah.

Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.

Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin ilmu hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih, hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang hadits shahih, yaitu rawi-nya harus ‘adl, dlabith, sanad-nya bersambung, matan-nya marfu’, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal.

Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan.

Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.

Sejarah Munculnya Hadist

Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah,[1]sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW yang beredar pada masa Nabi Muhammad hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah al Qur’an. Dan isinya pun menjadi hujah (sumber otoritas) keagamaan.

Apabila ditelusuri sejarahnya, ternyata di samping adanya kesepakatan umat Islam untuk menerima Hadits sebagai dasar tasyri’, terdapat pula pandangan problematik tentang hadits. Bahkan, ada sejumlah kecil yang menolak Hadits sebagai dasar syari’at Islam yang kedua setelah al Qur’an.

Pandangan-pandangan ini ada yang datang dari lingkungan intern umat Islam, dan ada juga yang datang dari lingkungan ekstern umat Islam yang kadang-kadang juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.

Sebagaimana diketahui, pada abad II Hijriah, muncul faham yang menyimpang dari garis khiththah yang telah dilalui oleh sahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujah dalam menetapkan hukum bila tidak dibantu oleh al Qur’an, dan ada pula yang tidak menerima hadits ahad. Selain itu, juga terdapat perbedaan faham dalam hal keadilan sahabat, perbedaan dalam hal penulisan hadits, serta keberadaan pemalsuan hadits secara massif.

Sekilas Tentang Sejarah Hadits

Pada awalnya, kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita dan berita-berita secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah hadits mengalami pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara eksklusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.

Hal demikian dibenarkan oleh Mustafa A’zami yang menceritakan bahwa pada masa-masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat. Pada waktu itu. Kata hadits yang awalnya bersifat umum, semakin lama semakin eksklusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada Nabi.

Dari keterangan tersebut kiranya dapat dipahami bahwa tradisi “tutur”  dan “tinular” mengenai perilaku Nabi sudah hidup pada masa-masa awal Islam. Begitu juga tradisi “periwayatan”, dalam bentuknya yang sederhana dan mungkin tak pernah dimaksudkan untuk meriwayatkan, sudah dimulai sejak masa awal, sehingga ketika generasi selanjutnya melakukan kodifikasi terhadap hadits dapat dilacak apakah benar berasal dari Nabi atau tidak.

Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi pernah menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, suatu saat Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan al Qur’an yang pada saat itu masih turun (proses pewahyuan belum final), namun pada saat yang lain, justru Nabi memerintahkan agar hadits itu ditulis.

Dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah.

Menurut perspektif hukum, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).[5]
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat, meskipun juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
  1. Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam, 
  2. Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn “ash yang dinamainya al shadiqah. 
  3. Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas, berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Dengan demikian, mungkin istilah yang lebih tepat, Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar Ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.

Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.

Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[8]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standard yang ketat.

Seperti disebutkan di muka bahwa “periwayatan” sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam, namun baru pada pertengahan abad ke-3 H / 9 M, hadits mempunyai “bentuk”  yang tertentu. Hampir semua isinya secara mendetail telah terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.

Untuk mencapai “bentuk” ini para ahli telah mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah. Para ahli, atau yang biasa disebut sebagai muhadditsun, telah melakukan perjalanan menjelajah ke seluruh penjuru dunia Islam pada waktu itu. Mereka  pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari satu orang ke orang lainnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-3 H / permulaan 10 M beberapa koleksi hadits telah dihasilkan, bahkan enam diantaranya mulai saat itu sudah dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal dengan "enam yang asli".

Adapun yang paling terdepan dari keenam kitab hadits itu adalah Shahih Bukhari yang kemudian dinyatakan oleh kaum muslimin hanya berada di bawah al Qur’an dalam otoritasnya, Shahih Muslim menempati urutan selanjutnya, dan kemudian disusul berturut-turut oleh karya-karya Abu Daud, al Tirmidzi, al Nasa’i dan Ibn Majah.

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa rentang waktu antara masa hidup Nabi dengan kodifikasi hadits begitu jauhnya, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para orientalis untuk menyerang Islam, melalui salah satu sumber hukumnya, yaitu hadits. Mereka menganggap bahwa sunnah adalah tradisi yang diciptakan oleh para sahabat, sebagai hasil interpretasi terhadap ajaran Nabi.

Seorang orientalis bernama Ignas Goldziher sangat meragukan materi hadits yang sedemikian banyak dapat disaring dan kemudian diperoleh suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai "asli" berasal dari Nabi atau generasi sahabat yang awal. Ia berpendapat, seharusnya hadits dianggap sebagai catatan pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi muslim yang awal dari pada sebagai catatan tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat Beliau.

Lain lagi dengan Margoliouth yang menganggap bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits. Sunnah yang dipraktekkan kaum muslim awal sama sekali bukan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al Qur’an.

Dalam karyanya The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Joseph Schacht mengatakan bahwa "tradisi yang hidup" (living tradition) telah ada mendahului "tradisi Nabi". Schacht berargumen bahwa ketika hadits pertama kali beredar pada sekitar abad kedua hijriyah, ia tidak dirujukkan kepada Nabi, melainkan kepada tabi’in, kemudian sahabat dan setelah beberapa waktu akhirnya hadits disandarkan kepada Nabi.

Mereka juga menemukan kitab al Muwatha’, kitab tertua sesudah al Qur’an yang dapat ditemukan,  mempunyai sanad yang kurang tertib. Dan sistem isnad itu tertib setelah memasuki generasi al Bukhari, yang jangka waktunya dari Imam Malik (penyusun al Muwatha’) cukup jauh (Imam Malik: 93-179 H; al Bukhari: 194-296 H). Di sini para orientalis mengungkapkan bahwa isnad  yang awalnya tidak ada itu kemudian ada tetapi tidak tertib, dan akhirnya menjadi sangat rapi. Dengan demikian mereka berkesimpulan bahwa ahli hadits generasi al Bukhari, dengan kelihaiannya, telah merekayasa isnad. Hadits yang tadinya tidak jelas siapa pembawanya, disulap sedemikian rupa sehingga menjadi shahih sanad-nya.

Beberapa pendapat kaum orientalis tersebut, jelas sangat memancing kontroversi dan tidak dapat diterima oleh umat Islam. Namun begitu, kita tidak boleh hanya mempertahankan diri hanya dengan mengedepankan emosi belaka, tetapi harus meng-counter-nya dengan dalil-dalil yang ilmiah. So, buat sobat-sobat yang mempunyai pandangan yang ilmiah untuk meng-counter silakan tulis komentar atau ulasan….wassalam.

Pengertian ASWAJA

Istilah Ahlus Sunnah wa al Jama’ah terdiri dari 3 kata, yaitu Ahlun, Al Sunnah, dan al Jama’ah. Secara etimologi, Ahlu berarti keluarga, penduduk, orang yang berilmu, atau pendukung. 

Al Sunnah, menurut bahasa Arab, adalah al Thariqah, yang berarti metode, kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela.

Lebih jelas lagi adalah definisi yang disampaikan oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H) yang menyatakan bahwa As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, yang mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Selanjutnya dia menambahkan bahwa generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Inilah yang diriwayatkan oleh Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).

Sedangkan al Jama’ah menurut Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang mengartikannya sebagai ahlul Islam  yang bersepakat dalam masalah syara’. Selain itu juga ada yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok mayoritas). 

Ada juga yang mengatakan bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut.

Menurut Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, istilah Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Menurutnya, kata “ahlus sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya, memisahkan yang shahih dari  yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as sunnah, seperti Abu Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan lain-lain. Mereka mengartikan as sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa madzhab ahlussunnah wa al jama’ah itu merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Adapun penamaan ahlussunnah wa al jama’ah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Menarik untuk dicatat, bahwa dulu Imam Malik pernah ditanya: “siapakah ahlussunnah itu ?” Beliau menjawab bahwa ahlus sunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal, yakni bukan jahmi, qadari, dan bukan pula Rafidli. Imam Ahmad Ibn Hanbal pun pernah disebut-sebut sebagai Imam Ahlussunnah karena tindakan beliau yang gigih mempertahankan keyakinannya ketika  Khalifah al Makmun dengan faham Mu’tazilahnya gencar mengkampanyekan bahwa Qur’an adalah makhluk.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain.

Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum. Selain itu dapat pula dipahami bahwa Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain.

Gambaran Umum Ahlus Sunnah Wa Al Jama’ah

Berbicara tentang Ahlus Sunnah wa al Jama’ah, kiranya tak lengkap tanpa menyebut nama  dua orang tokoh yang begitu disegani di kalangan faham ini. Mereka  adalah Abu al Hasan  al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Bahkan beberapa ulama’ mengatakan bahwa ahlus sunnah wa al jama’ah adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. Contoh misalnya, al Zubaidi yang pernah mengatakan: “Jika dikatakan ahlus sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. Senada dengan al Zubaidi adalah Hasan Ayyub yang mengatakan: “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.

Tokoh yang pertama bernama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Bishri Ishaq Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa  Ibn Bilal Ibn Abi Bardah Ibn Abi Musa al Asy’ari (260 H – 330 H). Dia dikenal sebagai pendiri teologi sunni, meskipun sebelumnya dia adalah pengikut Mu’tazilah dan pernah menjadi murid al Jubba’i.

Pada usia 40 tahun, dia meninggalkan Mu’tazilah dan memulai serangan-serangannya terhadap pandangan-pandangan faham Mu’tazilah. Dia menjungkirbalikkan dialektika Mu’tazilah yang berpegang teguh pada akal dan keadilan Tuhan serta kemerdekaan berkehendak manusia.

Seperti diketahui bahwa kaum Mu’tazilah begitu mangagungkan akal (rasio), bahkan membawanya sedemikian jauh sehingga mensejajarkan kemampuan akal (rasio) dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak puas hanya dengan pernyataan superioritas akal atas tradisi, tetapi lebih jauh lagi menyamakan derajatnya dengan Firman Tuhan sebagai petunjuk agama.

Implikasi dari tindakan ini bahkan lebih jauh lagi, karena mereka tidak bisa menerima Firman Tuhan sebagai sifat-Nya, maka mereka menyatakan bahwa al Qur’an adalah “kata yang diciptakan”.

Sebelum ini, faham Mu’tazilah juga beranggapan bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tak adil. Menurut mereka, pernyataan-pernyataan al Qur’an tentang janji pahala dan ancaman hukuman sebagai pernyataan-pernyataan kategoris mengenai fakta-fakta di masa yang akan datang. Dengan ini, mereka berkesimpulan bahwa Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bila Ia tidak melaksanakan janji-janji dan ancaman-Nya, bahkan Ia akan menjadi pembohong. 

Konsekuensinya, diktum Qur’an mengenai rahmat dan kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas-batas kemestian dan kewajiban: Tuhan harus berbuat sebaik-baiknya bagi manusia; Ia harus mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila Ia tidak melakukannya berarti Ia tidak adil dan bukan Tuhan.

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, Abu al Hasan al Asy’ari mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan Tuhan tidak dapat ditentukan batas-batasnya. 

Dia berkata:
“Marilah kita andaikan bahwa ada seorang anak kecil dan seorang dewasa di sorga yang kedua-duanya dulu meninggal dalam iman. Akan tetapi, orang dewasa tersebut menduduki tempat yang lebih tinggi di sorga daripada anak kecil tersebut. Anak kecil itu akan bertanya kepada Tuhan: ‘Mengapa Engkau berikan tempat yang lebih tinggi kepada orang itu?’ Tuhan akan menjawab: ‘Ia telah banyak mengerjakan perbuatan baik’. Maka anak itu akan berkata: ‘Mengapa Engkau matikan aku cepat-cepat sehingga aku tidak punya kesempatan untuk berbuat banyak kebaikan?’ Tuhan akan menjawabnya: ‘Aku tahu bahwa engkau akan tumbuh menjadi orang yang durhaka kepada-Ku; karena itu lebih baik engkau mati sebagai anak kecil’. Mendengar hal itu penghuni-penghuni neraka akan berteriak: ‘Wahai Tuhan! Mengapa Engkau tidak mematikan kami saja sebelum kami menjadi orang-orang yang durhaka kepada-Mu?”

Sistem teologi lain yang tumbuh hampir bersamaan waktunya dengan sistem al Asy’ari adalah sitem Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H / 945 M) dari daerah Samarkand. Maturidiyah adalah serupa dengan Asy’ariyah dalam pandangan pokoknya, namun berbeda dalam hal-hal tertentu yang penting. Al Maturidi, sebagaimana halnya al Asy’ari, berpendapat bahwa semua perbuatan manusia adalah dikehendaki oleh Tuhan, tetapi berbeda dengan al Asy’ari, ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang jahat tidaklah diiringi oleh “ridlo Tuhan”. Lebih penting lagi, meskipun Maturidiyah menekankan Kekuasaan Tuhan, namun masih mengakui effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Dan dalam beberapa perkembangan selanjutnya juga menyatakan dengan tegas kemerdekaan mutlak manusia dalam perbuatan-perbuatannya.
 
Meskipun ada beberapa perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, namun secara umum Ahlus Sunnah wa al Jama’ah dapat digambarkan sebagai berikut:
  1. Mempersatukan al Din (agama) melalui ilmu dan amalan,lahir dan batin dengan selalu berpegang teguh kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi SAW dan dipelihara oleh para sahabat; 
  2. Mempersatukan al Din secara menyeluruh dan menegakkan ajarannya. Hal ini karena al Jama’ah merupakan sebab dan akibat sekaligus ketaatan dan rahmat, maka memelihara  Jama’ah merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah;
  3. Merupakan golongan tengah, yakni diantara berbagai kelompok umat antara melebihkan dan mengabaikan. Juga merupakan “jalan” yang lurus, yakni dinul islam yang bersih, sebagaimana termaktub dalam Kitabullah;
  4. Berpegang teguh kepada al Qur’an, Sunnah dan Ijma’;
  5. Merupakan penerus sejarah bagi penganut agama Islam;
  6. Merupakan ahli syari’at yang mengikuti Sunnah Rasul, meliputi seluruh aspek ajaran Islam, baik aqidah, manhaj-manhaj tinjauan, perbuatan-perbuatan, tujuan-tujuan essensi, ibadah-ibadah, siasat syari’ah, maupun yang lainnya; 
  7. Hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf al Shalih; dan lain-lain.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, maka tidak heran jika Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Majmu' Fatawa 3/129 berkata bahwa inilah aqidah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah sampai tegaknya hari kiamat. Dalam tempat yang lain (3/159) dia menjelaskan bahwa  jalan mereka (Ahlus Sunnah) adalah agama Islam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus dengannya Muhammad SAW. Menurut dia, ketika Nabi meng-khabar-kan bahwa Umatnya akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu Al-Jama'ah. Dalam hadits yang lain Beliau bersabda: mereka (al Jama’ah) adalah yang berada seperti yang aku dan para sahabatku ada sekarang. Dengan alasan inilah, maka orang-orang yang berpegang teguh kepada Islam yang murni dan bersih dari campuran adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dimana diantara mereka terdapat orang-orang Shiddiq, Syuhada dan orang-orang Shalih. Dan dari mereka-mereka ini terdapat para tokoh-tokoh Ulama dan pelita umat yang memiliki kebesaran dan keutamaan yang terkenal serta ada pada mereka Al-Abdaal yaitu para imam yang telah disepakati kaum muslimin dalam petunjuk dan ilmu mereka. Merekalah Ath-Thaifah Al-Manshurah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutnya Ibn Taimiyah menambahkan bahwa orang yang paling berhak dijadikan sebagai Al-Firqatun Najiyah adalah Ahlul Hadits dan As-Sunnah yang tidak memiliki satu tokohpun yang diikuti secara fanatik kecuali Rasulullah, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui ucapan dan perbuatan Rasulullah, yang paling dapat membedakan yang shahih dan yang lemah dari hal tersebut sehingga para imam mereka adalah orang-orang yang faqih dan paling mengenal makna hadits-hadits tersebut dan paling mengikutinya secara keyakinan, amalan, kecintaan dan memberi loyalitas kepada orang-orang yang memiliki loyalitas kepadanya dan membenci orang yang membencinya, merekalah orang-orang yang mengembalikan perkataan-perkataan yang tidak pasti kepada apa yang ada didalam Al-Kitab dan As-Sunnah sehingga mereka tidak menetapkan satu perkataan lalu menjadikannya termasuk pokok-pokok agama dan pendapat mereka jika tidak ada ketetapannya pada apa yang telah dibawa Rasulullah bahkan menjadikan semua yang dibawa Rasullullah dari Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pokok (sumber) yang mereka yakini dan sandari.

Teori Belajar Menurut Aliran Behaviorisme

Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalampikiran peserta didik. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar (Trianto, 2007: 12). 

Teori belajar juga dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang terkait dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak teori belajar itu antara lain teori belajar behavioristik.

Pelopor aliran behaviorisme ini adalah John Broadus Watson. Melalui studi eksperimental, Watson menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep stimulus – respons.

Aliran behaviorisme ini menolak pandangan dari aliran pendahulunya, yaitu aliran psikoanalisa yang memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Aliran behaviorisme ini lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang dapat membentuk perilaku manusia dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu. Aliaran behaviorisme ini mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran ala psikoanalisa dengan istilah stimulus, response, dan habit. Stimulus selanjutnya dimaknakan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan lingkungan, sedangkan habit adalah hasil pembentukan perilaku tersebut (Koesma, 2000: 56).

Pandangan Watson ini banyak dipengaruhi oleh pendapat Ivan Pavlov, seorang ahli faal dari Rusia tentang conditioned response dalam classical conditioning (pembiasaan klasik). Ivan Pavlov ini mengadakan eksperimen dengan menggunakan seekor anjing. Anjing dikerangkeng dan setiap saat tertentu diperdengarkan bunyi bel disertai penaburan bubuk daging ke dalam mulutnya. Respon anjing adalah berupa keluarnya air liur dari mulutnya. Perlakuan ini diulangi berkali-kali dan lama kelamaan penaburan bubuk dihilangkan, tetapi bunyi bel tetap diperdengarkan. Meskipun bubuk daging tidak lagi ditaburkan ternyata setiap mendengar bunyi bel, anjing tersebut tetap mengeluarkan air liur dari mulutnya (Hamid, 2002: 35).

Kesimpulan yang diambil oleh Pavlov berdasarkan eksperimen tersebut adalah bahwa suatu stimulus akan menimbulkan respons tertentu apabila stimulus itu sering diberikan bersamaan dengan stimulus lain yang secara alamiah menimbulkan respons tersebut. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara kedua stimulus tersebut (Koesma, 2000: 57).

Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, Pavlov juga menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya itu juga dapat diterapkan kepada manusia untuk belajar. Implikasi hasil eksperimen tersebut pada kegiatan belajar manusia adalah bahwa belajar pada dasarnya membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara reflektif, proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat (Hamid, 2002: 37).

Jelasnya, aliran ini memandang bahwa hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (stimulus-respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap apa yang datang dari luar individu. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku dari stimulus yang diterimanya (Muhaimin, 2002: 196).

Berdasarkan hal tersebut diatas, teori behavioristik juga sering disebut dengan teori stimulus-respons. Proses S-R ini sendiri terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
  1. Dorongan (drive); peserta didik merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu sehingga terdorong untuk memenuhi kebutuhan.
  2. Rangsangan (stimulus); pemberian stimulus menyebabkan timbulnya respons si pelajar.
  3. Respons (reaksi); peserta didik akan memberikan reaksi terhadap stimulus yang diterimanya dengan jalan melakukan sesuatu yang terlihat.
  4. Penguatan (reinforcement) yang perlu diberikan kepada peserta didik supaya ada rasa kegemberiaan dan tergerak untuk memberikan respons ulang (Muhaimin, 2002: 196).
Diantara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik adalah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahkan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar, terutama alam pendidikan. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada bagaimana individu itu dididik.

Keyakinan prinsipal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan refleks, yakni reaksi jasmaniah yang dianggap tidak memerlukan kesadaran mental. Apapun yang dilakukan oleh manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang peserta didik menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan (Syah, 1999: 112). Hal ini berarti proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifak mekanik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi dalam diri peserta didik selama dalam proses belajar (Muhaimin, 2002: 197).

Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning).

1). Koneksionisme
Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme adalah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara stimulus-respons. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan (Sukmadinata, 2007: 168).

Secara garis besar, teori koneksionisme Thorndike dapat dijelaskan dengan satu kesimpulan bahwa “belajar” dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau asosiasi, atau koneksi netral yang kuat antara stimulus dan respons. Untuk dapat mencapai hubungan antara stimulus dan respons ini, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu (Roziqin, 2007: 64).

Berkaitan dengan prinsip atau hukum dalam belajar, Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum. Pertama, law of readness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik (Sukmadinata, 2007: 169).

2). Teori Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) sebagaimana telah diuraikan di awal. Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006: 115).

Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu (Sanjaya, 2006: 116). Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Syah, 1999: 106).

Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya (Djaali, 2007: 85).

3). Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning)
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan ahli psikogi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (Syah, 1999:109).

Skinner memulai penemuan teori belajarnya dengan kepercayaannya bahwa prinsip-prinsip kondisioning klasik hanya sebagian kecil dari perilaku yang bisa dipelajari. Banyak perilaku manusia adalah operant, bukan responden. Kondisioning klasik hanya menjelaskan bagaimana perilaku yang ada dipasangkan dengan rangsangan atau stimulus baru, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perilaku operant baru dicapai (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 67).

Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer (perangsang/hadiah).

Reinforcer ini sendiri seseungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning (Syah, 1999: 109). Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu mendapat hadiah sebagai reinforcer, maka ia akan menjadi lebih giat dalam belajar.

Islam dan Barat

Kebudayaan dan Peradaban; Antara Barat dan Islam

“Kebudayaan” dan “Peradaban” adalah dua istilah yang hampir mirip namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda.

Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah ‘culture’ sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843 para ahli anthropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam istilah agriculture dan holticultura. Hal ini dapat dimengerti karena istilah culture ini berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”.

Akar kata “kebudayaan” ini adalah kata “budaya” yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Dalam hal ini, manusia diyakini memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh E. B. Tylor yang menyatakan bahwa “Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan dan kebiasaan seseorang sebagai anggota masyarakat.” 

Dengan definisi yang diberikan oleh E.B. Tylor ini –dan para ahli lain yang sependapat– menyebabkan apa yang disebut ‘kebudayaan’ sering disamakan dengan ‘peradaban’. Padahal keduanya amat berbeda. Dalam perkembangannya malahan pengertian istilah budaya dan kebudayaan hanya dibatasi pada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat.

Adapun istilah “peradaban” dalam bahasa Inggris disebut civilization. Istilah peradaban ini sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur budaya yang halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi.

Dengan batasan-batasan pengertian di atas, maka istilah peradaban sering dipakai untuk hasil-hasil kebudayaan seperti kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, adat sopan santun serta pergaulan. Selain itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang maju dan kompleks.  Ini mengingat tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kemajuan dan ilmu pengetahuan.

Pengertian yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya, maupun iptek)

Huntington memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif. Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika Serikat– dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahasa, budaya dan agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban, yakni peradaban Barat.

Lebih lanjut Huntington menyatakan bahwa term “Barat”, secara universal, digunakan untuk menunjuk pada apa yang disebut dunia Kristen Barat. Dengan demikian, “Barat” merupakan sebuah peradaban yang dipandang sebagai “penunjuk arah” dan tidak diidentikkan dengan nama orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Akan tetapi pengidentifikasian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulturalnya. Secara historis, peradaban Barat adalah peradaban Eropa, namun di era modern ini yang dimaksud dengan peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara.

Dari beberapa pengertian “kebudayaan” dan “peradaban” tersebut di atas tampak sekali terdapat perbedaan di antara keduanya. Di sini, pemikiran yang lebih jelas tentang perbedaan “kebudayaan” dan “peradaban” dapat dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman, seperti Edward Spranger yang mengartikan “kebudayaan” sebagai segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya.

Dengan demikian, maka sebuah bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunya dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan falsafahnya berakar pada kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain, kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan. Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang.

Sejalan dengan pemikiran Spranger ini adalah Effat al-Syarqawi yang mengartikan “kebudayaan” sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu. Dengan kata lain, “kebudayaan” adalah struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.

Adapun “peradaban” ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya. Di sini “peradaban” meliputi semua pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi, ekonomi, politik praktis, fiqih mu’amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi.

Kaitannya dengan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “peradaban Islam”, menurut Muhammad Husain Abdullah, adalah “sekumpulan pandangan tentang kehidupan menurut sudut pandang Islam.” Pengertian yang lain menyebutkan bahwa “peradaban Islam” adalah peradaban orang-orang Muslim atau peradaban manusia yang diilhami, dilandasi oleh keyakinan Islam. Atau dengan pengertian yang lain, “peradaban Islam” adalah pencapaian hasil budi kaum muslim dalam sejarah.

Adapun yang menjadi orientasi kebudayaan di dunia Islam adalah perbedaan antara alam kosmis, transendental, tatanan keduniaan, serta kemungkinan untuk mengatasi ketegangan yang inheren dalam perbedaan ini berdasarkan ketaatan sepenuhnya pada Tuhan dan kegiatan keduniaan –terutama sekali, kegiatan politik dan militer; unsur universalitas yang kuat dalam definisi tentang komunitas Islam; pemberian akses otonom bagi seluruh warga komunitas untuk memperoleh atribut-atribut tatanan transendental dan keselamatan (salvation) melalui ketaatan terhadap Tuhan; cita-cita ummah, komunitas politik-keagamaan dari setiap pemeluknya, dan gambaran mengenai penguasa sebagai penegak cita-cita Islam, mengenai kemurnian ummah, dan kehidupan komunitas.

Berangkat dari pengertian “peradaban Islam” tersebut di atas, maka berbeda dengan Islam yang sakral, tetap dan abadi, peradaban Islam betapapun besar dan hebatnya, adalah bersifat profan, berkembang dan tidaklah suci. Peradaban Islam, tetaplah seperti peradaban lain, yakni tidak bebas dari kelemahan.
Hal tersebut dapat dibuktikan ketika kita flashback ke masa lalu, dimana Nabi Muhammad saw. mampu menyusun kekuatan baru untuk melakukan reformasi peradaban secara total mulai dari ideologi, teologi, sampai kepada kultural dan hasilnya sangat mengesankan. Kemudian usaha beliau itu dilanjutkan oleh para penguasa muslim melalui fondasi bangunan teologi yang kokoh, penguasaan dan pengembangan sains atas dasar semangat iqra dan amal shalih. Atas dasar itu, sejarah dan khazanah kita di masa lampau --terutama sejak pemerintahan Nabi Muhammad saw. di Madinah hingga tahun 1250 Masehi yang ditandai dengan berakhirnya masa kejayaan Spanyol Islam di daratan Eropa-- umat Islam mampu mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berperadaban tinggi.
 
Namun demikian, seiring dengan pasang surutnya sebuah peradaban, peradaban Islam pun pernah mengalami masa-masa kejayaan meskipun kemudian mengalami masa kemunduran. Jika pada zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan serta menjadi kiblat dunia, termasuk Barat, maka saat ini umat Islam hanya menjadi konsumen dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Peradaban Baratlah yang saat ini memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia secara umum dan bahkan cenderung menghegemoni peradaban lainnya, termasuk Islam.

Qadimnya Ala, Semesta

Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan terdapat dua fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktu dijadikan sebagai patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang azali dan abadi. Gerak itu haruslah melingkar dan bersambung dalam tempat, sehingga gerak  ini pun tidak berawal dan berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.

Dari pola pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh sejumlah “sebab” di luar dirinya.

Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.

Dalam hal ini,  al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh” yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al.

‘Aql fa’al inilah yang melakukan aktifitas di dunia karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan  pemberi bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut siap menerimanya. Jadi, ‘aql fa’al juga merupakan sumber eksistensi jiwa manusia.

Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.

Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam “materi pertama” (hayula), yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan “bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada “keabadian” waktu.

Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.

Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodim berarti tidak bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam (dunia) ini harus diasumsikan dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.

Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta” dalam paham teologi adalah “penciptaan sesuatu dari tiada” (creation ex nihilo). Masih menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”, padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya.

Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja.

Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:

وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه علىالماءليبلوكم ايكم احسن عملا (هود

Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)

Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi:

اولم يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي افلا يوءمنون (الانبياء.

Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)

Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.

Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir.

Selanjutnya,  Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa itu qadim dan hadits. Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.

Psikologi Transpersonal

Selain aliran psikologi humanistik, aliran psikologi yang lain adalah psikologi transpersonal. Aliran ini dikembangkan oleh tokoh dari psikologi humanistik antara lain: Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistik.  

Menurut Shapiro, “Psikologi Transpersonal” ini mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan “Psikologi Transpersonal” yang menganggap bahwa inti kemanusiaan adalah bukan fisik jasmaninya, melainkan psikis-rohaniah, manusia memiliki kesadaran spiritual yang bisa berubah dan meningkat melalui jalan-jalan tertentu diantaranya melalui latihan spiritual dengan tekhnik meditasi. Bahkan, untuk mencapai kesadaran tingkat tinggi, emosi dan intuisi memegang peranan yang lebih penting daripada peran rasio.

Pandangan “Psikologi Transpersonal” ini tampak sekali melakukan “gugatan” terhadap psikologi modern yang terlalu lama dibelenggu oleh rasionalitas-obyektifitas yang mereka bangun dan menganggap sepi sisi ruhani manusia. Dalam hal ini, psikologi transpersonal telah memperhitungkan agama-agama sebagai salah satu alternatif sumber pengetahuan yang layak dan absah tentang manusia dan telah merekomendasikan sebuah cara baru dalam menelaah fenomena pengalaman batiniah.

Rumusan di atas menunjukkan dua unsur penting yang menjadi telaah psikologi transpersonal yaitu potensi-potensi yang luhur (potensi tertinggi) dan fenomena kesadaran manusia. Psikologi transpersonal –seperti halnya psikologi humanistik– menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Perbedaannya dengan psikologi humanistik adalah bila psikologi humanistik menggali potensi manusia untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.

Kajian transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba mengkaji secara ilmiah terhadap dimensi yang selama ini dianggap sebagai bidang mistis, kebatinan, yang dialami oleh kaum agamawan (kyai, pastur, bikhu) atau orang yang mengolah dunia batinnya. Hasil dari beberapa penelitian tranpersonal menunjukkan bahwa bidang kebatinan bisa menjadi bidang ilmu dan dapat dikaji secara ilmiah sehingga hal tersebut penting untuk di kaji lebih dalam dan tidak dianggap sebagai suatu bid’ah, khurafat, ataupun syirik yang akhirnya membelenggu ilmuwan psikologi untuk mempelajari potensi yang tertinggi ini

Pengertian Psikologi Islam

Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa memiliki padanan dengan kata nafs, meski ada juga yang menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.

Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah psikologi kontemporer seperti soul atau psyche. Hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani dan ruhani, sedangkan soul dan psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia.

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.

Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian tentang jiwa tersebut selanjutnya “menghilang” bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya.

Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs) oleh Islam para Ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang menyebut kata nafs tidak kurang dari 300 kali. Demikian pula dalam hadits, kata nafs banyak sekali di sebut.

Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang kita kenal saat ini, tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs al muthma’innah).

Terlepas dari itu semua, ilmu psikologi seharusnya dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunnatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsaniyah) dalam arti menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi, dan hukum-hukum di seputar kejiwaan manusia.

Berangkat dari asumsi di atas, kiranya “PR” yang perlu dikerjakan adalah menjadikan psikologi agar dapat digunakan untuk menerangkan berbagai problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam kehidupan kesehariannya, melakukan telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam, kemudian menawarkan konsep alternatif tentang psikologi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat disebut Psikologi Islami atau Psikologi Islam, meskipun sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah menggunakan nama Psikologi Islami atau Psikologi Islam.

Dari kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Psikologi Islam seperti halnya Sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains. “Kebaruan” ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs, atau jiwa belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda.

Perbedaan yang lain adalah dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekatinya. Psikologi Barat semata-mata menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapakan asas-asas kejiwaan, sementara Psikologi Islam mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus.

Walaupun demikian, sebagai ilmu yang masih dalam proses pembangunan, jika ingin menghasilkan suatu pendekatan baru dalam khasanah Psikologi Islam, maka langkah yang paling tepat bukan memulainya dari nol, melainkan dimulai dari penemuan dan teori psikologi Barat kontemporer.

Berangkat dari asumsi demikian, kiranya ada dua model pendekatan, Pertama, psikologi sebagai pisau analisis dalam menghadapi masalah-masalah yang berkembang di kalangan Umat Islam. Kedua, Islam dijadikan sebagai alat untuk menilai konsep-konsep psikologi Barat kontemporer.

Diatas itu semua, semangat pengembangan Psikologi Islam hendaknya tetap mengacu pada beberapa hal, diantaranya:
  1. Psikologi Islami adalah merupakan ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (al Qur’an dan Hadits), akal, indera dan intuisi.
  2. Psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah melalui proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan Islam.
  3. Psikologi Islami adalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam.
  4. Psikologi Islami ialah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber formal (al Qur’an dan Hadits) yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah
  5. Psikologi Islam merupakan corak psikologi yang berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam kerohanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.
Dengan demikian, jika psikologi mempunyai tugas mencakup, menguraikan, memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia, maka psikologi Islam masih memiliki tugas tambahan, yaitu pengembangan psikologi Islam. Dalam hal ini psikologi Islam harus menempatkan agama sebagai pijakan ilmu.

Selain itu, psikologi Islam juga harus mampu merumuskan asas-asas kejiwaan dari al Qur’an dan Hadits, yaitu yang berkaitan dengan karakter manusia sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam al Qur’an, seperti dlaif (lemah), jahl (bodoh), halu’ (terburu-buru), zhulm (sewenang-wenang), kaffar (banyak menentang), kanud (tindak pandai berterimakasih), ghalidl al qalbi (keras dan kasar hati), qalbun salim (hati yang bersih), fi qulubihim maridl (penyakit hati), lahiyah al qulub (hati yang lalai), ru’fah wa rahmah (cinta dan kasih saying) dan lain-lain.

Psikologi Islami juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan umat Islam yang disinyalir memiliki pijakan psikologis. Dalam bidang konseling misalnya, meski para Ulama’ tidak mengenal teori Bimbingan dan Konseling modern, tetapi terapi psikologi bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai. Boleh jadi paradigma yang digunakan oleh para kiai tersebut berbeda dengan paradigma psikologi modern, melainkan paradigma tasawuf dan akhlak, tetapi tidak bisa dibantah bahwa tujuan tausiyah para kiai tersebut adalah memberikan solusi atas problem-problem psikologi yang dihadapi.

Jadi, jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi; fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi Islami di samping tiga dimensi tersebut juga mencakup dimensi keruhanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh psikologi Barat karena perbedaan pijakan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons